Welcome

Friday, 3 January 2014

HUKUM ARAH KIBLAT UNTUK ORANG INDONESIA


Memang terjadi pergeseran arah kiblat akibat pergeseran lempeng bumi, tapi itu kecil sekali sehingga dapat diabaikan. Pergeseran arah kiblat hingga 30 cm ke arah kanan seperti diberitakan, menurut pakar astronomi ITB Dr. Moedji Raharto, hanya mengubah arah kiblat kurang dari sepersejuta derajat saja. Jadi tidak mengubah arah kiblat masjid atau arah kiblat kita saat shalat di luar masjid.
Namun harus diakui banyak masjid yang arah kiblatnya kurang tepat. Bukan karena pergeseran arah kiblat, melainkan karena penentuan arah kiblat sebelum pembangunannya memang tidak akurat, atau sekedar mengikuti arah kiblat masjid terdekat yang ternyata kurang akurat.
Para ulama sepakat bahwa menghadap kiblat (istiqbal al-qiblah) wajib hukumnya bagi orang yang shalat. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1/667; Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal. 51; Muhammad al-Masâudi, Al-Kaâbah al-Musyarrafah Adabuha wa Ahkamuha, hal. 41). Imam Ibnu Hazm berkata,"Para ulama sepakat menghadap kiblat wajib bagi yang melihat kaâbah atau yang mengetahui petunjuk-petunjuk arah kiblat, selama ia bukan orang yang berperang (muharib) atau orang yang sedang ketakutan (kha`if) [karena perang]." (Maratibul Ijmaâ, hal. 11).
Kewajiban menghadap kiblat dalilnya firman Allah (artinya),"Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram." (QS Al-Baqarah : 144). Dalil as-Sunnah sabda Nabi SAW,"Jika kamu berdiri hendak shalat, sempurnakanlah wudhu lalu menghadaplah ke kiblat, dan bertakbirlah." (HR Bukhari). Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata,"Hadis ini menunjukkan tidak bolehnya meninggalkan arah kiblat pada shalat wajib. Ini merupakan ijmaâ tapi ada rukhsah dalam kondisi ketakutan yang sangat [karena perang]." (Fathul Bari, 1/501).
Bagi orang yang dapat melihat Kaâbah, arah kiblatnya adalah bangunan Kaâbah (‘ainul kaâbah) itu sendiri. Dalilnya firman Allah SWT (artinya) : "Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram." (QS al-Baqarah : 149). Imam Qurthubi berkata,"Ayat ini berlaku untuk orang yang melihat Kaâbah." (Tafsir al-Qurthubi, 2/160). Imam Syafiâi berkata,"Orang Makkah yang dapat melihat Kaâbah, harus tepat menghadap ke bangunan Kaâbah (‘ainul bait)." (Al-Umm, 1/114).
Sedang bagi orang tidak dapat melihat bangunan Kaâbah (‘ainul kaâbah), yang wajib adalah menghadap ke arah Kaâbah (jihatul kaâbah), tidak harus tepat/eksak ke arah bangunan Kaâbah. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan Syafiâi (dalam salah satu riwayat). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 366).
Dalilnya sabda Nabi SAW,"Apa yang ada di antara timur dan barat adalah kiblat." (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi). Imam Shanâani menjelaskan,"Hadis ini menunjukkan yang wajib adalah menghadap arah Kaâbah (jihatul kaâbah), bukan menghadap ke bangunan Kaâbah (ainul kaâbah), yakni bagi orang yang tidak dapat melihat bangunan Kaâbah." (Subulus Salam, 1/134).
Dengan demikian, bagi penduduk Indonesia yang berada di sebelah timur Masjidil Haram, pada dasarnya cukup menghadap arah Kaâbah (jihat kaâbah), yaitu ke arah Barat. Menurut kami ini sudah cukup dan sudah sah shalatnya. Kalaupun melenceng beberapa derajat, menurut kami itu dapat dimaafkan, selama masih mengarah ke Barat. Kaidah fiqih menyebutkan : Maa qaaraba al-syaiâa uâthiya hukmuhu (Apa yang mendekati sesuatu, dihukumi sama dengan sesuatu itu). (M. Said al-Burnu, Mausuâah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, 9/252). Wallahu aâlam.

0 komentar:

Post a Comment