Namun harus diakui banyak masjid yang arah kiblatnya
kurang tepat. Bukan karena pergeseran arah kiblat, melainkan karena penentuan
arah kiblat sebelum pembangunannya memang tidak akurat, atau sekedar mengikuti
arah kiblat masjid terdekat yang ternyata kurang akurat.
Para ulama sepakat bahwa menghadap kiblat (istiqbal
al-qiblah) wajib hukumnya bagi orang yang shalat. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, 1/667; Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal.
51; Muhammad al-Masâudi, Al-Kaâbah al-Musyarrafah Adabuha wa Ahkamuha,
hal. 41). Imam Ibnu Hazm berkata,"Para ulama sepakat menghadap kiblat
wajib bagi yang melihat kaâbah atau yang mengetahui petunjuk-petunjuk arah
kiblat, selama ia bukan orang yang berperang (muharib) atau orang yang
sedang ketakutan (kha`if) [karena perang]." (Maratibul Ijmaâ,
hal. 11).
Kewajiban menghadap kiblat dalilnya firman Allah
(artinya),"Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram." (QS
Al-Baqarah : 144). Dalil as-Sunnah sabda Nabi SAW,"Jika kamu berdiri
hendak shalat, sempurnakanlah wudhu lalu menghadaplah ke kiblat, dan
bertakbirlah." (HR Bukhari). Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata,"Hadis
ini menunjukkan tidak bolehnya meninggalkan arah kiblat pada shalat wajib. Ini
merupakan ijmaâ tapi ada rukhsah dalam kondisi ketakutan yang sangat [karena
perang]." (Fathul Bari, 1/501).
Bagi orang yang dapat melihat Kaâbah, arah kiblatnya
adalah bangunan Kaâbah (‘ainul kaâbah) itu sendiri. Dalilnya firman
Allah SWT (artinya) : "Dan dari mana saja kamu keluar, maka
palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram." (QS al-Baqarah : 149).
Imam Qurthubi berkata,"Ayat ini berlaku untuk orang yang melihat Kaâbah."
(Tafsir al-Qurthubi, 2/160). Imam Syafiâi berkata,"Orang Makkah
yang dapat melihat Kaâbah, harus tepat menghadap ke bangunan Kaâbah (‘ainul
bait)." (Al-Umm, 1/114).
Sedang bagi orang tidak dapat melihat bangunan Kaâbah
(‘ainul kaâbah), yang wajib adalah menghadap ke arah Kaâbah (jihatul
kaâbah), tidak harus tepat/eksak ke arah bangunan Kaâbah. Inilah pendapat
Imam Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan Syafiâi (dalam salah satu riwayat). (Imam
Syaukani, Nailul Authar, hal. 366).
Dalilnya sabda Nabi SAW,"Apa yang ada di
antara timur dan barat adalah kiblat." (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Imam Shanâani menjelaskan,"Hadis ini menunjukkan yang wajib adalah
menghadap arah Kaâbah (jihatul kaâbah), bukan menghadap ke bangunan Kaâbah
(ainul kaâbah), yakni bagi orang yang tidak dapat melihat bangunan Kaâbah."
(Subulus Salam, 1/134).
Dengan demikian, bagi penduduk Indonesia yang berada
di sebelah timur Masjidil Haram, pada dasarnya cukup menghadap arah Kaâbah (jihat
kaâbah), yaitu ke arah Barat. Menurut kami ini sudah cukup dan sudah sah
shalatnya. Kalaupun melenceng beberapa derajat, menurut kami itu dapat
dimaafkan, selama masih mengarah ke Barat. Kaidah fiqih menyebutkan : Maa
qaaraba al-syaiâa uâthiya hukmuhu (Apa yang mendekati sesuatu, dihukumi
sama dengan sesuatu itu). (M. Said al-Burnu, Mausuâah al-Qawaid al-Fiqhiyyah,
9/252). Wallahu aâlam.
0 komentar:
Post a Comment